PAPARAN DAN
TEMUAN
DATA
Pada BAB ini dipaparkan tentang
temuan hal – hal yang berhubungan dengan aspek struktural dalam kumpulan puisi “
Buli
– Buli Lima Kaki ” karya
Nirwan Dewanto yang mencakup Gaya Bahasa dan pengimajian (Citraan).
4.1 Gaya
Bahasa (Majas)
Gaya
atau Majas pada penelitin ini meliputi suatu penggunaan bahasa, Berikut
adalah penjabaran Gaya Bahasa (Majas)
yang terkandung dalam Kumpulan puisi Buli-Buli Lima Kaki:
Dalam Puisi BABI MERAH
JAMBU mengandung majas perumpamaan,
diantaranya sebagai
berikut:
BABI
MERAH JAMBU Barangkali buluku
sepantas
sutera,
tapi
sungguh aku enggan
bercermin.
Sebab
pantulanku akan terlihat
suci, dan aku tak suka bersaing dengan mereka yang beriman
Bangun sebelum fajar itu, aku
masuk ke dalam sisa tidurmu, Menyaru
sebagai penghibur
berpupur putih lesih dan
Bermincong merah
jambu dan berhujah betapa kau terlihat
Bahagia di
antara para musuhmu
Terjaga tiba-tiba,
kau
mencariku di dekat
nyala api dan berharap Sebagian rusukku hangus untuk menebalkan rasa laparmu
dan Menghapus sisa tawamu.
Wahai
kau yang selalu memamerkan
kaki
kijangmu Untuk memperbesar
jumlah para penyajungmu.
Kakiku Lebih sempurna daripada kakimu, meski aku
lebih suka Menghujamkan kakiku ke dalam lumpur
belaka.
Sudah
kubaca riwayat kaumku
sampai aku tahu bahwa kami Memang bukan pedandan.
Ketika kami berpindah ke kota,
Kaumi menghibahkan pakaian
berlimpah
ruah
kepada kami,
Namun kami tetap saja gemar mengendus cacing dan
umbi-umbian.
Ketika kautikam
leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah
Gaun merah
luas,
luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir
serasi
Dengan
tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah
matahari.
Ketika aku terguling sempurna,
kau sudah lupa betapa subur wajahku,
wajah yang berlipat ganda umtuk menutupi sosok para pembunuh
yang senantiasa mengitarimu.
Kukatakan dengan
hati-hati bahwa aku
bukan
tukang jagal, Dan
para penyembah berhala akan percuma saja membuat
aku Sebagai sekutu mereka.
Jiwaku
tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam
ke lapisan Bumi paling dalam, di mana tuhan
akan diam-diam
membuka
Pintu
gerbang bagiku.
Dalam puisi
SENAPANG
mengandung majas
Metafora,
diantaranya sebagai berikut:
SENAPANG
Girang menemukan
zebra dan gajah dalam puisimu
Aku
mengira kau menulis
tentang kebun binatang.
Ada juga kandang-kandang kosong, yang
agak canggung
Menampakkan
diri di antara kata-katamu. Barangkali
Lantaran di dalamnya terdapatremah
pecahan tulang
Dan cabikan
kulit yang
masih berkilau dan terasa segar.
Kadang aku mendengar juga tawa kanak-kanak
di antara
Rima yang agak
kaupaksakan, yang seperti koak atau
aum
Kadang aku melihat kaum
ibu memamerkan gaun baru
Di
depan
kandang beruang,
bila
siang terlalu benderang.
Aku
tahu kau berupaya membandingkan sanggul mereka
Dengan
mahkota merak, kaki mereka dengan
kaki
kijang
Aku
hampir berhujah semuanya serasi,
manis,
bersahaja
Ketika tiba-tiba saja aku menemukan sepucuk senapang
Diantara sulur semak yang entah sejak
kapan merimbun Menutupi sebagian
kalimatmu, yakni
ketika kau mengikuti Jejak lelaki yang menuju padang rumput bersepuh emas
Di dekat
surga mestinya, dan
tak tersentuh oleh puisimu.
Tapi janganlah
harimaumu menyurut
ke balik perlambang
Atau singamu
sekedar umpamamu. Beri aku
rahang mengerkah
Bukan do‟a yang meninggikan aku dalam
tamanmu. Sementara
Kau mengimpikan
aku lancar bernyanyi “Balonku ada lima”
Lihat, keledai
mulai berani membawa surya di punggungnya
Dan kelinci
bangga mengoleskan warna darah
di wajahnya
Kenapa puisimu
hanya dua seuntai,
kini kau lepas-tangan pula
Justru ketika aneka hewan ini menuntut
pesta rupa bebas raya?
Aku
membidikkan si senapang ke arah
balon Lima itu
Yang
gampang belaka menyembunyikan
kepalamu.
Dalam puisi KOBRA mengandung Majas Metafora,
antara lain sebagai berikut:
KOBRA
Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih
manjur
Daripada taringku,
namun
kau tak mampu menjawab
ketika
Seorang pelangganmu
bertanya, “ Mana yang paling baik
untuk Mematikan seekor
kuda hitam?”
Ketahuilah,
sangat
jarang aku
mematuk, sebab aku tak Mau
taringku ternoda oleh
darah,
dan
aku lebih senang
Memuntahkan bisa ke siapa saja yang memaksaku berdiri
tegak Dan
mengagumi leherku mengembangkan serupa
perisai.
Kecuali cerpelai, yang suka membaca,
sesiapa akan buta jika Matanya terkena oleh
semburan bisaku, tapi ia selalu
berhujah Bahwa bekas lawan yang
kautaklukkan tak pernah buta, mereka Sekadar lupa
betapa aku suka memangsa sesamaku
Sungguh
mati, aku tak sengaja memangsa mereka, sebenarnya
Aku mengasihani mereka, sebab
mereka suka melata,
dan sesiapa Yang melata
hanya menjadi bayang-bayangku,
kembaranku,
Yang akan menghalangi jalanku
ke kota
Percayalah, aku
melenyapkan
baying – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari
terlalu terang, bergelung
Seperti bulan
gerhana sempurna,
atau, jika terpaksa,
dengan
Menelan sesiapa yang bersikeras
menjadi
kembaranku,
Betapapun
tampan-jelita ia.
Dari
si cerpelai diam – diam aku belajar menari tanpa henti, untuk Memikat bakal kekasih, yang tak
mampu lagi melihat lukisan
Gaya baru
pada
kulitku, sampai suatu hari,
di sebuah padang Terbuka, ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang
Tinggi dan piawai, si rajawali menyambarku
dan membawaku Terbang ke angkasa
Tak
sanggup
membunuhku, raja kaum penerbang itu
Menjatuhkan aku ke bumi yang tak
kukenal, rusukku
remuk-
Redam
( namun telah kupatahkan sebilah
sayapnya), dan
sejak
itu Aku tak mampu lagi berdiri tegak atau
menaklukkan sesamaku, Dan aku
hanya sanggup memburu
tikus dan kadal dan truwelu
Sampai
seorang penyair menangkapku.
Ia memaksaku
menari dengan bunyi serulingnya, meski
aku Sebenarnya hanya berupaya berdiri
dengan
susah payah, meliuk-
Liuk di dekat wajahnya, untuk sekedar
menggirangkannya
Belaka,
sementara aku memandangi
bibirnya yang
seperti Bayangan
bulan sabit muda di hutan dahulu
Aku sedikit
terbebas
dari
birahi ( sunguh,
kami sering berpentas
Di depan tokomu, terkadang juga bersama
sesamaku yang
asing, Yang dibawa penyair lain,
dan kami suka bertukar
isyarat
kenapa
kami bisa menjadi bintang di
kota
yang sedih ini).
………………………………………………………………
Dalam puisi
TELUR
MATA
SAPI
megandung majas alegori,
antara lain sebagai berikut:
TELUR MATA SAPI
Hanya mata yang sudah menamatkan Biru
samudra mampu menimbang Cangkang letih menggeletar ini
Hanya jari yang pernah bersengketa Dengan merah darah lancar meniti Lengkung
seperti
punggung iblis
Hanya jantung yang sesekali terperam
Di gudang bawah
tanah patut mengasihani
Retakan yang menahan gelegak
lender
ini.
Hanya lukisan yang rela ditumbuhi
Telur perempuan
dari telur api
Hanya penyair yang tak
juga selesai
Menjelajahi luasanputih akan
berpahala
Lapar
sejati di
pusat kuning ini.
……………………………………………….
Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM mengandung Majas
Hiperbola,
antara lain sebagai
berikut: PENUNGGANG KUDA HITAM
Ia belum lulus dari
sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai
di Depan rumah jagal
di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk Melihat genangan
darah mereka sendiri.
Setelah mencoba Mengingat-ingat
wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa
Bahwa hari itu ia harus menempuh ujian
menggambar.
Gurunya yang biasa mengajari
ia mengubah sosok
lelaki
Penunggang kuda atau
penjaga pintu
kaum bendahara,
Entah kenapa sudah
berada di sampingnya dan
berkata,
“Para
Pengantri itu sedang bahagia. Dan
hari
ini engkau sudah
Dewasa.
Marilah.” Dan segera menarik
ia ke sebuah klinik, yang
Di
mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu
siapa –
Bapanya sendiri, dokter jaga, komandan
kompi, atau si guru,
“
berapa banyak yang engkau
bunuh hari ini, anakku? Lekaslah Gambarkan rupa para kekasih yang
terlanjur punah itu.
Agar
Kami mampu mempercayaimu.”
………………………………………………………………..
Dalam puisi KOPI LUWAK mengandung majas hiperbola, antara lain sebagai berikut:
KOPI LUWAK
Dari biji-biji mata yang bru saja
lepas
dari
perut bimasakti Kusadap
airmata paling
hitam
barangkali juga paling suci.
Minumlah. Lekaslah.
Supaya kau
mampu mengusir si binatang
Biru bersarang di lidahmu.
(barangkali ia
bisa kenyang dengan
Menjilati reremah
halal
dari
kitab-kitab yang belum tuntas
kaubaca.) Maafkan aku.
Pastilah ia tak
tahu betapa kau
berilmu.
(pun aku tak tahu warna apa yang paling pantas dikenakannya. Ia sekadar
Biru sebab ia licin seperti film biru.) dan
di hadapanmu aku bersiap-siap
Menjaringnya. Mungkin bertahun – tahun hendak kupanen itu. Ia tersesat
ke Lidahmu
sebab tak mampu membedakan
mana
najis terdekat
mana bintang
Terjauh Loyang mana mulutmu.
…………………………………………………………………………….
Dalam puisi
HIU
mengandung
majas pertentangan, antara lain sebagai berikut:
HIU
Mereka yang bilang bahwa hiu berbahaya
Pasrilah pendusta
Kukira si hiu
makhluk kampungan belaka
Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar
ke tepian Mengira ibu-ibu
mau
memperhatikan ia.
Tapi yang ia
temui ternyata Cuma
para perenang
Yang di hari
libur itu berotak agak miring
Merasa bisa
mondar-mandir
di laut
Semak jidat mereka
Padahal luas
benar
rumah
si hiu
Dan ia pun tak suka main jagoan
Tapi
tetamu
datang dan pergi tanpa aturan:
Kadang ubur-ubur menyerobot
kasurnya
Kadang cumi-cumi mengotori karpetnya
Sesekali ia kepingin
juga
pasang wibawa
Maka
diciumnya perenang laki paling berkilauan
Tapi karena hidung dan mulut hiu
selerang belaka Maut pun datang dalam
darah berhamburan Haraplah si hiu tahu bahwa sesal dahulu Pendapatan
dan sesal kemudian
tak berguna Supaya ia lebih
menghayati hokum
alam
Wahai
kalian yang gemar
menampik dusta Dengarlah
kesaksianku:
di masa kanakku
Pernah kulihat di perut hiu yang dibedah
Sepotong kain
merah
alangkah
merah
Pakaian
siapakah melangkang sejauh
itu? Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?
……………………………………………….
Dalam puisi SAPI LADA HITAM mengandung majas paralelisme,
antara lain sebagai berikut:
SAPI LADA HITAM
Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan
dan kubawa hanya untukmu
Bertahun-tahun kau
menghunus
pisau dan menyembunyikan
Diri darinya, aku
tahu.
Kau
tak akan lagi
melihat
wujudnya Yang biasa menggiriskanmu.
Kupanggul ia kini.
Sebab ia Ternyata tak lebih perkasa ketimbang aku.
Telah kulepas Tanduknya, tanduk
yang kapan – kapan
akan
kukenakan
unruk
Mempesonamu
juga. Buli – buli yang menegang selalu di antara Kedua pahanya akan kutanam untuk
diriku sendiri, untuk terus
Mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini
kau akan melihatnya Seperti seonggok kain
belaka.
Tapi awaslah, kalau kau tiup
ia. Akan mekar luas ia seperti angkasa raya,
sehingga ruangmu
Akan termakan olehnya. Jadi bentangkan
ia saja. Bentangkan!
Jantungnya masih menyala di dalam
sana.
Pahanya teramat segar Sebagaimana biasa,
dan
pastilah akan menerbitkannatsumu. Aduh, kau yang dulu
tekut olehnya!
Wajahnya masih tampan Dadanya tetap
bidang, kulitnya masih licin
berkeliatan –
semua Yang mnghapus
nyali para kekasih
dan
suami. Pastilah
kau akan Mencari
– cari
buli – buli yang selalu kaulukis dengan warna Emas dalam
mimpimu,
agar
ia leksa memasukimudari celahmu
Dalam puisi APEL DAN ROTI mengandung majas personifikasi, antara lain
sebagai berikut:
APEL DAN ROTI
Di balik dua butir apel selalu
ada
sekeping matahari Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu
malu
Menatap merah yang selalu
padam itu.
Di antara dua potong
roti selalu ada selapis jantung Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti Sebelum mencapai putih yang menyala
itu.
Di antara hijau dan kuning
selalu ada ekor
rubah
Abu-abu, yang
empunya hanya mampu bertahan Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku
Di antara perutmu
dan piring yang termangu,
lapar
Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku menumpahkan sajakku
ke mejamu
Sungguh lapar
dan birahi tak akan
terlihat oleh
mata
Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu
lama
Tersimpan dalam lemari
es di sudut dapurmu.
Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh oleh si matahatri
dan si jantung, rubahmu Makan
hitam
berulam mata. Mataku barangkali
Dalam pusi BATU JENDERAL terkandung majas metafora, antara lain sebagai
berikut:
BATU JENDERAL
Sesekali ia hendak
melepaskan sayapnya dan
memperlihatkan Jantungnya yang putih,
saying sekali, ketika kita berhasrat
Melihatnya terbang. Ia sekadar
duduk di telapak
tangan kita. Baru. Tepatnya, sang batu. Kita melekatkan sang kepadanya Sebab
kita
tak sampai hati
melihat
ia,
seperti bulir delima.
Memburukkan diri dan berhimpun
dengan
ribuan sesamanya.
Untuk wajahnyayang senantiasa absen, kita mengekalkan Punggungnya (atau
sesuatu yang seperi punggung, yang Sesekali mencucuk
kulit
kita). Sambil membayangkan rangka Yang tumbuh saling berkelindan saling
menutup ke segala arah Dari
intinya sendiri.
Sayap,
lidah,
atau umbai adalah
anggota
………………………………………………………………….
Dalam puisi
GAJAH
SULAWESI mengandung majas personifikasi, antara lain sebagai
berikut:
GAJAH SULAWESI
Hanya jika pesawat terbang bersurai di punggungnya Jika
sang insinyur rajin menghalus
di depan kuntum
kana Jika paha perempuan
bulukumba terlihat hijau berkilau
Jika gaunmu koyak
melepaskan dadamu
perunggu
Akan mampu
kita
memandang gajah Sulawesi
Jantung atau ususnya tumbuh piawai
di atas
punggungnya
Seperti Derek
mainan tiga warna yang menutup-membuka Belalainya ialah
juga ekornya,
menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng
Minataur Menyembul
dari balik pahanya, memakasa kita mencintainya
Tentu saja tak percaya bila ia mengunjungi kita
Di museum, misalnya.
Sebab tubunya yang terbuat
dari dua
Irisan katel logam cembung hitam legam
raksasa memang
Layak terpancang di gurun atau
di dasar samudra. Lihatlah
Sepasang ikan
hijau yang menepi
membuka
jalan baginya Dan
asap
pesawat terbang yang diam-diam
membidiknya
……………………………………………………………….
4.2 Pengimajian (Citraan)
Pengimajian atau citraan pada penelitin ini meliputi suatu penggambaran,
diantaranya yaitu citraan
perasa, citraan
pendengaran
dan citraan penglihatan
berikut adalah penjabaran masing – masing.
4.1.1 Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – Buli Lima kaki
adalah
:
“ Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh
aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka
bersaing dengan mereka”. Dalam Puisi : “ BAMBU MERAH JAMBU ”.
“ Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu,
menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan bermoncong merah jambu dan berhujah bertapa kau terlihat bahagia diantara
para musuhmu”. Dalam Puisi :
“ BAMBU MERAH JAMBU” .
“ Wahai
kau yang
selalu
memamerkan
kaki kijangmu
untuk
memperbesar jumlah para pengunjungmu. Kakiku lebih sempurna
daripada kakimu, meski aku lebih suka menghujamkan kakiku ke
dalam lumpur belaka”. Dalam Puisi : BAMBU MERAH JAMBU
“.
“ Girang aku
menemukan
zebra dan gajah
dalam puisimu
Aku
mengira kau menulis tentang kebun binatang. Dalam Puisi : “ SENAPANG “
“ Ada juga kadang –
kadang kosong yang agak
canggung
Menampakkan
diri di antara kata – katamu. Barangkali” . Dalam
Puisi “SENAPANG”
“ Lantaran di dalamnya terdapat remah pecahan tulang
Dan cabikan
kulit yang
masih berkilau dan terasa segar”. Dalam
Puisi : “SENAPANG”
“Lihat, keledai
mulai berani membawa surya di punggungnya
Dan kelinci
bangga mengoleskan warna darah
di wajahnya. Dalam
Puisi : SENAPANG.
“Kenapa puisimu hanya dua seuntai,
kini kau lepas-tangan pula
Justru ketika aneka hewan ini menuntut pesta rupa bebas
raya? Dalam
Puisi : SENAPANG.
“Aku membidikkan
si senapang ke arah balon lima itu
Yang gampang belaka menyembunyikan kepalamu. Dalam
Puisi : SENAPANG
“Ketahuilah, sangat jarang aku
mematuk,
sebab aku tak mau
taringku ternoda oleh darah, dan
aku lebih senang
memuntahkan bias ke siapa
saja yang memaksaku berdiri tegak
dan
mengagumi
leherku mengembang serupa prisai”. Dalam puisi : KOBRA.
“ Kecuali cerpelai, yang suka membaca, sesiapa
akan buta jika matanya terkena oleh
semburan bisaku, tapi ia selalu berhujah bahwa bekas
lawan yang
kutaklukkan tak pernah buta,
mereka
sekedar lupa aku suka
memangsa sesamaku”.
Dalam
puisi KOBRA.
“Dari si cerpelai diam
– diam aku belajar menari
tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu
lagi melihat lukisan
gaya baru
pada
kulitku, sampai
suatu hari, di sebuah
padang terbuka,
ketika aku berusaha menirukan lompat-liuknya yang tinggi dan piawai,
si rajawali menyambarku dan
membawaku terbang ke angkasa”. Dalam
Puisi : KOBRA
“ Ia memaksaku menari
dengan bunyi serulingnya,
meski aku sebenarnya hanya berupaya berdiri dengan susah payah, meliuk-liuk
di dekat wajahnya,
untuk sekedar menggirangkannya belaka,
sementara aku memandangi
bibirnya yang seperti bayangan bulan sabit muda di hutan”. Dalam
Puisi KOBRA.
“ Sesekali ia memeras
bisaku
dan membawanya ke tokomu, dan
aku sedikit terbebas
dari birahi (sungguh, kami sering berpentas di depan tokomu, terkadang juga bersama
sesamaku yang asing, yang dibawa penyair lain, dan kami suka bertukar isyarat kenapa kami bias menjadi
bintang di kota yang sedih
ini)”.
Dalam Puisi KOBRA.
“ Siang tadi
kulihat sang cerpelai
berbelanja
ketokomu, ia bersepatu
dan berpakaian
rapi,
dan ia memborong banyak sekali taring, bias dan
kulit berwarna hijau lumut,
dan di ujung jalan ia mengambil seekor
kuda hitam dari tambatan, yang di
pelananya sudah duduklah istrimu ,sungguh, aku
tak berdusta”. Dari Puisi
KOBRA.
“ Malam ini
pada lidahku akan kaudapati sebutir manikan
biru berkilauan, ambillah,
jangan takut, kau bukanlah musuhku, sungguh,
ketika sang cerpelai gugur di sebuah hotel di tengah kota terbelit
atau terpatuk oleh
istrimu, tapi janganlah kauburu sang penyair yang
sedang membeli nasi gurih
dan Kitab Lebah Ratu santapanku,
sungguh, ia hanya hendak
menggirangkanku sekali ini saja”.
Dari Puisi KOBRA.
“ Hanya jari yang sudah menamatkan
Biru samudra mampu menimbang
Cangkang
letih menggeletar ini”.
Dari Puisi TELUR
MATA SAPI
“ Hanya jari yang pernah bersengketa
Dengan
merah
darah
lancer
meniti
Lengkung seperti punggung iblis
ini”.
Dalam Puisi TELUR
MATA
SAPI
“ Ia belum lulus dari
sekolah
fantasi ketika ia tiba
– tiba sampai sidepan rumah
jagal
di mana kuda – kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba
mengingat-ingat wajah
mereka satu
demi satu, ia segera lupa
bahwa hari itu ia harus menempuh
ujian menggambar”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
“ Gurunya, yang biasa mengajari
ia
mengubah sosok
lelaki penunggang kuda atau
penjaga pintu kaum bendahara, entah
kenapa sudah berada di sampingnya dan
berkata, “ Para pengantri itu
sedang berbahagia. Dan hari
ini engkau sudah dewasa.
Marilah,” dan
segera menarik
ia ke sebuah klinik, yang mirip
ruang
kelasnya sendiri”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA HITAM.
“ Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda
kepang, kuda dremelon, kuda bendi, kuda sembrani, kuda
bertaji, kuda larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata
kepada kaum pemirsa yang
kian dahaga itu, “Naikilah ia, wahai
pemuja keindahan. Pergilah
dalam
damai, sebab
kau sekalian
sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik
psikiatri ini”. Dalam Puisi PENUNGGANG KUDA
HITAM.
“ Di lebuh menuju
sekolah
fantasi, di mana
mereka
yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia
mulai belajar menyimak suaranya sendiri,
yang sepintas terdengar hanya
seperti jerit lemah si guru ketika
tenggelam di rumah jagal”. Dalam
Puisi PENUNGGANG KUDA
HITAM.
“ Dari biji – biji mata yang baru saja lepas dari perut bimasakti kusadap airmata paling hitam barangkali juga paling suci”. Dari Puisi KOPI LUWAK.
“ Ia harus tetap rapi dengan jubahnya. Rapi sekali. Juga ketika aku
mesti membunuhnya untuk merampas biji-biji mataku sendiri yang
lama terperam dalam perutnya. Yang sudah
membuatnya muda berkilau seperti Bimasakti”.
Dari Puisi KOPI LUWAK
“ Kukira si
hiu makhluk kampungan belaka
Gemar pamer giginya tajam tak beraturan Maka wajarlah ia suka nyasar ke tepian
Mengira ibu-ibu
mau
memperhatikan ia”. Dalam Puisi HIU
“Tapi yang ia
temui ternyata cuma para perenang
Yang di
hari libur itu berotak agak
miring
Merasa bisa mondar-mandir di laut
Seenak jidar mereka”. Dalam Puisi HIU
“ Padahal luas benar rumah
si hiu
Dan ia pun tak suka main jagoan
Tapi
tetamu
dating dan pergi tanpa aturan:
Kadang ubur-ubur menyerobot
kasurnya
Kadang cumi-cumi mengotori
karpetnya”.
Dalam
Puisi HIU
“Haraplah si hiu tahu bahwa sesal
dahulu
Pendapatan dan sesal
kemudian
tak berguna
Supaya ia lebih menghayati hokum alam”.
Dalam Puisi HIU
“Pakaian siapakah melanglang sejauh
hiu?
Pakaian orang kiri yang
diburu serdadu?. Dalam Puisi HIU
“ Bertahun-tahun kau menghunus pisau dan menyembunyikan diri
darinya, aku tahu.
Kau tak akan lagi
melihat wujudnya”.
Dalam
Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Telah
kulepas
tanduknya,
tanduk yang kapan-kapan
akan kukenakan untuk mempesonamu juga. Buli-buli yang
menegang selalu
diantara kedua pahanya akan
kutanam untuk diriku sendiri,
untuk terus mendatangkan serbuk jantan bagiku. Kini kau
melihatnya seperti seonggok
kain belaka.
Tapi
awaslah,
kalau
kautip ia, akan mekar luas ia seperti angkasa raya, sehingga
ruangmu akan termakan olehnya. Jadi bentangkan ia saja.
Bentangkan!”. Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Aduh, kau yang dulu takut olehnya! Wajahnya masih tampan,
dadanya tetap bidang, kulitnya masih licin berkilatan – semua yang
menghapus nyali
para kekasih dan suami.
Pastilah
kau akan mencari – cari buli – buli yang selalu kalukis dengan warna emas
dalam mimpimu, agar
ia lekas memasukimu dari celahmu yang
mana saja, agar kau taj lagi merasa terancam olehnya. Bentangkan ia dihadapanmu, dan kau tak akan selekeh darah pada jasadnya, sebab tak pernah
aku menyembelihnya atau
menusuknya. Sekarang asahlah pisaumu baik – baik. Lantas kenakan gaunmu yang palin putih.
Sembunyikan
rambut mayangmu di bawah
kerudung puithmu, agar aku lupa bahwa kau seorang betina. Betina yang
mampu membuat aku tabah menjebak ia
ke dalam labirin dan
mengakhiri kisahnya. Sebentar lagi kau akan melihat sungau – sungai darah miliknya, yang
pernah kita bayangkan bersama. Jadi, mari, cepatlah kita bentangkan ia, agar aneka
sungai yang tersembunyi dalam tubuhnya itu mau memamerkan diri, walau untuk sebentar saja. Pilihlah bagian tubuhnya yang
terbaik dengan
pisaumu, pisau
paling tajam di dunia ini. Mungkin sedikit di atas
pahanya
dan di bawah pusarnya, bagian yang mengandung gegurat putih-perak yang menyilaukan mata. Sayat pelan
– pelan, agak dalam di bawah kulit, agar arus darah tak meledak lepas ke
udara.
Kita akan merapikan
ia lagi, seakan – akan
ia tak terpiuh sama sekali. Mungkin kita
akan menghibahkannya ke
museum, atau menghadiahkannya ke seorang
pelukis Irlandia. Sementara itu kita
akan
menyimpanya baik – baik,
katakanlah
memasangnya di lemari pakaianmu (pastilah ia akan tampak seperti gaunmu). Lalu letakkan sayatan terbaik itu pada nampan logam panas yang telah ku
siapkan. Jangan beri
terlalu banyak garam, bawang, dan paprika. Abaikan semua resep, nasihat maupun do‟a. Tapi siapkan bubuk lada
hitam agak berlimpah. Taburkan perlahan – lahan, sesuai isyarat api tungku. Atau taburkan sembunyi – sembunyi, agar kita sedikit meneteskan air mata. Bebintik hitam panas ganas itu sangat baik untuk melancarkan sandiwara yang kurang masygul
ini. Sabarlah, tabahlah membolak-balik potongan kesayangan kita. Sebab daging
bekas penakluk memang tak gampang alah. Tapi
jagalah ia, jangan sampai terlalu matang, ia haruslah tetap terasa muda
belia. Jangan memandang ke arahku, aku hanya akan
memelukmu dari belakang.
Dan mendesakkan
buli-buli
emas yang
selalu kauimpikan itu ke celahmu yang
terbaik tanpa kau tahu”.
Dalam puisi SAPI LADA
HITAM
“ Tapi sungai – sungai darah itu akan tetap mengalir rahasia dalam
wujudnya, yang
sudah tergantung aman di lemari pakaianmu. Dan kau akan perlahan mencintaiku karena betapa
mahir
aku melenguh
kini”.
Dalam Puisi SAPI LADA HITAM.
“ Di balik
dua butir apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga
pisaumu tentu akan tersipu
malu
Menatap merah yang selalu padam itu”. Dalam Puisi APEL DAN
ROTI
“ Di antara dua potong roti selalu
ada selapis jantung
Kuning, sehingga lidahmu
pasti akan berhenti
Sebelum mencapai putih yang menyala itu”. Dalam Puisi APEL
DAN ROTI
“ Di antara hijau
dan kuning selalu ada ekor
rubah
Abu – abu, yang empunya hanya mampu bertahan
Di balik gaunmu,
sebelum menerkam sajakkku”. Dalam
Puisi
APEL DAN
ROTI
“ Sungguh
lapar
dan birahi tak
akan
terlihat oleh mata
Yang tersembunyi
dalam
sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam
lemari es
di
sudut
dapurmu”.
Dalam
Puisi
APEL DAN ROTI
“ Di luas meja yang terlanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh
oleh si matahari dan si jantung, rubahmu
Makan hitam berulam mata.
Mataku barangkali”. Dalam
Puisi
APEL DAN ROTI
“ Sesekali ia hendak melepaskan sayapnya dan memperlihatkan jantungnya yang putih”. Dalam Puisi BATU JENDERAL
“ Kita melekatkan
sang
kepadanya sebab
kita tak
sampai hati melihat ia, seperti bulir delima,
menubrukkan diri dan berhimpun dengan ribuan sesamanya”. Dalam
Puisi BATU JENDERAL
“ Untuk wajahnya yang senantiasa absen, kita mengekalkan
punggungnya (atau sesuatu yang
seperti punggung, yang
sesekali
mencucuk kulit kita), sambil membayangkan rangka yang tumbuh
saling berlindan saling
menutup
ke
segala arah dari
intinya sendiri”. Dalam
Puisi BATU JENDERAL
“ Sayap, lidah, atau umbai adalah anggota yang hendak kita
bubuhkan kepadanya ketika
ia tampak terlalu keras kepala
di samping kobaran
kobaran api”. Dalam Puisi BATU
JENDERAL
“ Ia beringsut sedikit demi sedikit, tampak lebih sabar ketimbang
sepotong roti dan lebih pencemburu ketimbang selecut halilintar.
Dalam puisi BATU JENDERAL
“ Lengkung yang membatasi
dalamannya bukankah bentuk,
karena
kita percaya bahwa isinya, zatnya, mungkin hakikatnya, selalu
mencoba memburai keluar melalui pepori
yang kita paksakann kepadanya. Sesekali kita mengurup padat-nya dengan cair (yang
betapa mustahil) karena kita tahu ia berasal dari magma, yang tak
bisa
kita lihat di muka bumi”. Dalam Puisi BATU JENDERAL
“ Suatu hari seorang
sutradara mengabaikannya meskipun ia, sang batu, memiuhkan gambar yang
ditembak dalam – dalam oleh si kamerawan”.
Dalam
Puisi BATU JENDERAL
“ Namun ketika ia mendekat ke hijau lumut, yang kukira pernah menjadi
pakaiannya, kita menyergapnya, menjadikannya metaphor bagi puisi kita. Tetapi tidak. Hijau terlalu tenang
baginya”.
Dalam
puisi BATU JENDERAL
“ Dan ternyatalah ia dekat sekali dengan darah, ketika ia melayang
dari tangan kaum Intifada. Ketika ia melaju ke
dahi seorang
serdadu muda kelahiran Haifa”. Dalam Puisi BATU JENDERAL.
“ Batu Jendral.
Batu awam. Seperti
jutaan
sesamanya. Kita memang menddengarnya terbang, maka kita kini mematahkan
sayapnya, yang
bukan sekedar sayap”. Dalam Puisi BATU JENDERAL
“ Tetapi sayap kata. Ketika ia retak dan kita melihat jantungnya yang putih,
tidaklha
kita tahu apakah ia bagian
dari batuan
malihan atau batuan sedimen, misalnya”. Dalam puisi BATU
JENDERAL
“ Hanya geologi yang sungguh – sungguh berkenan mencari apa nama jenisnya, sementara
kita cukup menerimanya (atau
mengekalkannya)
sebagai batu jendral belaka. Batu awan. Meski sesekali
kita pinjamkan sayap
dan jantung kepadanya”. Dalam
Puisi BATU JENDERAL
“ Hanya jika pesawat
terbang bersurai di punggungnya,
Jika sang insinyur rajin
menghalus di depan kuntum
kana,
Jika paha perempuan Bulukumba terlihat
hijau berkilau,
Jika gaunmu koyak
melepaskan buah dadamu
perunggu, Akan mampu kita memandang
gajah Sulawesi”.
Dalam Puisi GAJAH SULAWESI
“ Jantung atau
ususnya tumbuh piawai
di atas
punggungnya
Seperti Derek
mainan tiga warna yang menutup-membuka Belalainya ialah
juga ekornya.
Menjulur dari lubang paripurna Berhulu pada kepala banteng Spanyol atau topeng Minotaur Gadingnya tersembunyi. Tapi
memang ada sepasang pedang Menyembul dari
balik pahanya,
memaksa kita mencintainya. Dalam
Puisi GAJAH SULAWESI
“ Tentu
saja kita tak percaya bila ia mengunjungi kita
Di museum, misalnya. Sebab
tubuhnya yang terbuat
dari dua Irisan ketel
logam cembung hitam legam
raksasa memang
Layak
terpancang di gurun
atau di dasar samudra. Lihatlah Sepasang ikan hiu
yang menepi membuka jalan
baginya
Dan
asap
pesawat terbang yang yang diam – diam membidiknya.
Dalam puisi GAJAH SULAWESI
“ Hanya jika majas
mulai memamerkan
kakinya yang empat,
Jika kilau bahumu tak lagi
merusuhkan yang baru khatam,
Jika cumi – cumi menodai halaman
rumah sang bupati,
Jika rambutmu boleh kusentuh pada Jum‟at siang
di Parepare
Akan
mampu kita memandang gajah
Sulawesi. Dalam
Puisi GAJAH SULAWESI
4.1.2 Citraan Pendengaran
Citraan Pendengaran yang terdapat dalam kumpulan puisi Buli – buli Lima Kaki
adalah:
“ Kukatakan dengan hati – hati bahwa kau bukan tukanng
jagal, dan para
penyembah berhala akan percuma saja membuat aku
sebagai
sekutu mereka. Dalam Puisi BABI MERAH JAMBU
“ Kau
mendengar do‟aku. Amin.
Dalam Puisi BABI MERAH
JAMBU
Kadang aku
mendengar
juga tawa kanak – kanak di antara
Rima yang agak
kupaksakan, yang seperti
koak atau aum”
Dalam
Puisi : SENAPANG.
“Bukan Do‟a yang meninggikan aku dalam tamanmu. Sementara
kau mengimpikan aku lancar
bernyanyi”
Balonku ada
lima”
. Dalam Puisi BABI MERAH
JAMBU.
“ Mereka yang bilang bahwa hiu
berbahaya pastilah pendusta.
Dalam Puisi HIU
4.1.3 Citraan Perasa
Citraan Perasa yang terdapat dalam
kumpulan Puisi Buli-Buli Lima Kaki adalah :
“ Sudah kubaca riwayat kaumku sampai
aku tahu bahwa kami
Memang bukan
pedandan. Ketika kami berpindah ke kota,
Kaummu menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami. Dari
Puisi BABI MERAH
JAMBU
“ Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu
menjulurlah gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari. Dari puisi
BABI MERAH JAMBU
“ Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur
wajahku, wajah yang
berlipat ganda untuk menutupi sosok para
pembunuh yang
senantiasa mengitarimu. Dalam Puisi BABI MERAH
JAMBU
“ Jiwaku
tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan
Bumi
paling dalam,
di mana Tuhan akan diam-diam membuka Pintu gerbang bagiku. Dalam
puisi BABI MERAH JAMBU.
“ Bagi umat manusia, tidaklah baik
mengagumi kembang
gelap
Gulita, yang pastilah mengganggu Do‟a mereka. Lagupula aku Tidak bermakam, setelah menghibur
sekedarnya dalam
Mimpimu yang
betapa terang dan sebentar itu. Dalam Puisi BABI
MERAH JAMBU
“ Aku tahu kau
berupaya membandingkan sanggul
mereka Dengan mahkota merak, kaki
mereka dengan kaki kijang. Dalam
puisi SENAPANG
“ Aku hampir berhujah
semuanya serasi, manis, bersahaja
Ketika tiba-tiba saja aku menemukan
sepucuk senapang.
Dalam puisi SENAPANG
“
Jejak kaki yang menuju padang rumput bersepuh emas Di dekat surge mestinya, dan tak tersentuh oleh
puisimu.
Dalam puisi SENAPANG
“
Tapi janganlah harimaumu
menyurut ke balik
perlambang Atau
singamu sekadar umpama.
Beri
aku rahang
mengerkah. Dalam puisi SENAPANG
“
Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih
manjur
Daripada taringku,
namun
kau
tak mampu menjawab
ketika
Seorang pelangganmu
bertanya. “ Mana yang paling baik
untuk Mematikan seekor
kuda hitam?”
Dalam puisi KOBRA
“ Sungguh mati, aku tak sengaja
memangsa mereka, sebenarnya
Aku
mengasihani mereka, sebab
mereka suka melata,
dan sesiapa
Yang melata hanya menjadi baying-bayangku, kembaranku, yang
akan
menghalangi jalanku
ke kota. Dalam puisi KOBRA
“
Percayalah, aku
melenyapkan
baying – bayangku dengan Bersembunyi dalam liang jika hari
terlalu terang, bergelung
Seperti bulan
gerhana sempurna, atau,
jika terpaksa, dengan
Menelan sesiapa yang bersikeras menjadi kembaranku, betapapun
tampan-jelita ia. Dalam
puisi KOBRA
“ Tak
sanggup
membunuhku, raja kaum penerbang itu
Menjatuhkan aku ke bumi yang
tak kukenal, rusukku remuk- redam (namun telah kupatahkan
sebilah
sayapnya),
dan
sejak itu
aku
tak mampu lagi berdiri tegak atau menaklukkan sesamaku,
dan aku hanya sanggup memburu tikus
dan
kadal dan truwelu,
sampai seorang penyair menangkapku. Dalam
Puisi KOBRA
“ Ketika kuceritakan semua ini,
taringku sudah
berkarat,
lidahku
Mungkin tak bercabang lagi, dan gelungku bukan lagi linkaran sempurna, namun jelaslah bahwa
semua peribahasa
sudah
kedaluarsa, pun sia-sia jika kau menuduhku penggoda atau
pendusta, dan ternyatalah tokomu
lebih layak disebut menara gading
atau perpustakaan. Dalam
puisi KOBRA
“ Hanya jantung yang sesekali terperam
Di gudang bawah
tanah patut mengasihani
Retakan yang menahan gelegak lender ini. Dalam puisi TELUR
MATA SAPI
“ Hanya lukisan yang rela di tumbuhi
Hijau lumut segera memisahkan
Telur perempuan
dari telur
api. Dalam puisi TELUR
MATA SAPI
“ Hanya penyair yang tak juga selesai
Menjelajahi luasan
putih akan berpahala
Lapar sejati di pusat kluning ini. Dalam puisi TELUR MATA SAPI
“ Tapi
hanya lidah yang sungguh
jenuh
Oleh garam
pasti sanggup
membuntuti
Puisi
pipih gosong di lubang kosong ini. Dalam puisi TELUR
MATA SAPI
“ di mana ia disudutkan oleh – entahlah, ia sungguh ragu siapa – bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, “ Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah
gambarkan rupa para kekasih yang
terlanjur punah itu. Agar kami mampu
mempercayaimu.” Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
“ Ia tak kunjung mengerti, tapi di layar raksasa yang dibentangkan
untuknya di ruang terang-benderang itu ia segera melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun
anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda
Releigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan
asin, sepur mutiara, sapu ijuk yu Sri - . Dalam
puisi PENUNGGANG
KUDA
HITAM
“ sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, “
Wahai lelaki
penunggang kuda,
kenapa
engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda
belaka? Di mana kudamu, jantung
hatimu, yang akan menghela kami menuju
khazanah
penuh hikmat kebijaksanaan
dari kumpulan orang mati?”. Dalam puisi PENUNGGANG KUDA HITAM
“ Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi. Ketika
ia mampu menyelamatkan hanya seekor
kuda hitam, yang
terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia
harus bergegas
mengejar langkah gurunya kea rah matahari
terbenam. Segera ia mendengar reringik teramat akrab mendekat
ke arahnya”.
Dalam
puisi PENUNGGANG KUDA
HITAM
“ Minumlah. Lekaslah supaya kau mampu mengusir si binatang
biru yang
bersarang di
lidahmu. Dalam
puisi KOPI LUWAK
“ Sesekali ia
kepingin juga pasang wibawa.
Dalam puisi
HIU
“ Panjang umurlah
para
pendusta
Dan hiduplah kita dari
bahaya.
Dalam puisi
HIU
“ Tenaglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu.
Dalam puisi SAPI LADA
HITAM
“ Setelah itu aku akan pura-pura tak sengaja menumpahkan anggur merah ke atas meja makan bertaplak putih di ahapan kita, agar kita
bisa juga sedikit membayangkan darah tatkala
bersantap. Dan kau
akan
tahu
betapa lembut daging pejantan.
Dalam puisi SAPI LADA HITAM
“ Di antara perutmu
dan
piring yang termangu,
lapar
Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku menumpahkan sajakku
ke mejamu. Dalam puisi APEL DAN
ROTI
“ Hampir
saja kaum berjubah melarang ia beredar
Di tanah air. Sebab penjaganya memang bertelanjang,
Dan mereka mengusirmu,
sayangku, setelah aku berkata,
“ Si
pengawal bukan perempuan, tapi
manekin belaka
Yang kepalanya tersembunyi
dalam kitabtuan-tuan.”
Kenapa mereka tersesat oleh
sekedar torso,
sayangku? Dalam
puisi GAJAH SULAWESI.
Comments
Post a Comment